Selalu begini, panik tidak
karuan, pikiran entah sudah melayang kemana saja. Terbang tinggi ,
menghayal yang tidak pasti dan memikirkan seribu kejadian buruk dan seolah akan menjadi akhir dari perjalanan
hidup ini. Hati ini masih tidak tenang, kacau dan diam membisu. Begitulah aku,
Robi, sedang dilanda kasmaran yang ribet dan tidak tahu harus berbuat apa untuk
masa depan cintaku. Mencintai seorang cewek cantik, seumuran , pintar ,
namanya Ira. Kami sudah berpacaran 2 tahun lebih sejak kami masih duduk
dibangku SMU kelas 3. Kami saling mencintai , sama seperti pasangan kekasih
lainnya, hidup ini terasa begitu indah dan bahagia. Merasa hidup ini sangat
sempurna. Dan semuanya sirna begitu
saja, semuanya lenyap dan mendadak pergi , harapan- harapan
itu, janji –janji kami, impian kami berdua seakan tidak akan sampai pada
tujuannya sejak hubungan kami diketahui orangtua kami. Ira adalah saudara
sepupuku, anak dari adik perempuan papa.
Berangkat dari Stasiun Kerea Api
Medan, kami berlima, harus menempuh perjalanan jauh menuju kampung halamanku di
Tanjung Balai, salah satu kota di Sumatera Utara yang memerlukan waktu
tempuh sekitar 4 jam dari kota Medan. Ketegangan tidak terhindarkan. Hanya
duduk ,diam kaku tanpa ada canda gurau diantara kami. Aku sibuk dengan segala
imajinasi negatifku, Ira terlihat lesu dan ketakutan, 3 temanku lainnya, Andi, Dedi dan Intan ,
sedang asik dengan gadget-nya masing- masing.
Kepulangan kali ini karena
permintaan orangtuaku. Aku dipaksa membawa Ira. Tidak tahu apa yang
akan terjadi. Tidak berani membayangkan apa yang akan dibicarakan. Sejak
ketahuan, aku tidak henti- hentinya dicaci maki kasar oleh papa sampai dinasehati dari hati ke hati oleh mama. Setiap
hari, setiap malam, pasti telepon genggam berbunyi. Terkadang malas mengangkat
telepon, terkadang sengaja matikan handphone. Saudara papa mama juga sibuk dan
ikut kepo dalam urusan kami.
Kereta mulai berlaju tepat pada
jam 8 pagi. Cuaca cerah, kereta penuh dengan penumpang. Banyak gelak tawa dari
sekitar kami, ada seorang ibu muda
menggendong bayinya, disampingnya seorang anak kecil berusia sekitar 4
tahun. Didepan ibu itu, duduk sepasang kekasih yang sedang ngobrol ringan. Dibelakang
kursi sepasang kekasih itu, ada 4 orang pemuda yang berpakaian hitam- hitam,
hanya diam saja. Cuma penumpang- penumpang itu saja yang bisa aku lihat dari sudut
pandang tempat aku duduk, selain dari ramianya penumpang dan petugas kereta yang
lalu lalang.
Aku, memegang erat tangan Ira
tanpa ada kata- kata. Memandang keluar jendela , melihat setiap objek yang kami
lewati. Tidak fokus, tidak sadar apa saja yang sudah ditangkap kedua bola mataku. Duduk setengah sadar, tidak ada ekspresi yang berarti, datar, dan sekali-
kali menenguk air mineral yang dibeli di kios depan gerbang kereta. Lamunanku
jauh, jauh sekali. Lamunanku membawaku
kembali ke masa- masa kami masih disekolah , saat pertama kali aku menyatakan cinta
kepada Ira. Saya ingat , hari itu, Sabtu, 5 November 2011, bertepatan dengan
ulang tahun Ira.
Kami melewati hari – hari yang
menyenangkan, penuh kasih sayang, penuh cinta , penuh perhatian. Beda tipis sih
antara kasih sayang seorang abang kepada adiknya dengan kasih sayang sepasang
kekasih. Kami tidak peduli. Tidak ada orang yang tahu akan hubungan
kami. Teman- teman sekolah, merasa normal dan tidak
menaruh curiga sama sekali. Jika sedang
ada kumpul keluarga, kami bercanda seadanya, sama seperti dengan saudara-
saudara lainnya. Betapa indahnya kenangan itu, betapa bahagianya saat itu. Semuanya berjalan lancar hingga kami lulus
sekolah dan memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Medan, memilih Universitas
yang sama, jurusan berbeda.
Khayalan itu buyar ketika kereta
tiba di stasiun Tebing Tinggi. Sebagian penumpang turun dan ada yang naik dari stasiun ini. Banyak sekali pedagang
yang menawarkan makanan dari luar jendela. Ada yang ikut naik kereta menuju ke
stasiun berikutnya. Kuliner lokal seperti ayam goreng, pecal , tahu goreng,
nasi campur dan sebagainya. Gaduh sekali, berisik dengan suara dari para
pedagang yang berteriak menawarkan dagangan mereka. Aku tidak ada selera makan sama
sekali. Suasana kembali tenang ketika kereta mulai berlaju lagi.
Berbagai perasaan campur aduk. Tersenyum sendiri ketika mengingat kenangan indah itu, berganti
gelisah dan panik , ketika sadar akan kenyataan hidup yang
ada didepan mata. Kereta bergerak kencang, mengikuti rel yang sudah disediakan.
Tidak peduli apapun yang terjadi pada penumpang didalamnya, kereta tetap
bergerak maju dengan kecepatan penuh, meninggalkan apapun yang ada
dibelakangnya.
Ketiga sahabatku, mereka ingin
menemani kami disaat kami sedang dalam kondisi seperti ini. Mereka ingin
menjadi bagian hidup kami baik susah maupun senang. Andi, mendapatkan beasiswa
kuliah di Universitas ternama karena kejeniusannya, dia pendiam, anti merokok,
anti drugs, suka musik Pop. Walaupun pintar, tidak angkuh , dan senang membagi
ilmu ke teman- teman lainnya. Dedi, orangnya jahil dan usil, paling suka
gangguin cewek, keras kepala, tidak suka yang namanya belajar. Pacar dari Intan ini, tetap melanjutkan kuliah, jago main
gitar. Kami mempunyai hobi yang sama, musik , suka nonton dan travelling.
Aku kembali masuk ke alam bawah
sadar , yang membawa aku kembali ke masa lalu. Bagaimana persahabatan kami dimulai,
disaat kami ngongkrong bareng, berantem karena hal kecil dan sepele, bermusuhan
karena hal yang tidak penting, kemudian berbaikan lagi. Bagaimana kenakalan
kami disekolah, dihukum guru, saling menjaga, berebut cewek yang sama, bolos
sekolah. Dan berlanjut hingga saat ini, memilih tinggal di kos
yang sama, walaupun kuliah ditempat berbeda.
Pluitannn yang panjang…
mengakhiri segala lamunanku, menyadarkanku kembali. Pluitan itu mengisyaratkan
kami telah sampai ditujuan dengan selamat, kota kelahiran kami, Tanjung Balai,
yang dikenal dengan kota Kerang, kota yang telah memberi warna dalam hidupku. Semakin
dekat dengan rumah, semakin tegang, semakin panik, aku tidak berani prediksikan
apa yang akan dikatakan orangtua kami. Hubungan kami harus putus dengan segala
logika yang diberikan, harus berakhir dengan segala alasan orangtua kami, tidak
patut dilanjutkan lagi karena akan mempermalukan keluarga. Separah itukah
hubungan kami? Atau kami tetap boleh melanjutkan hubungan kami?
Kereta berhenti sempurna tepat
jam 12 siang. Hari ini, 15 Januari 2014, menjadi hari penentu masa depan
hubungan kami. Hari yang menjadikan hidupku datar, hambar dan kaku. Keluar dari
pintu gerbang kereta, tidak membuat kami langsung pulang kerumah masing-
masing. Aku tidak mau langsung menghadapi sidang itu. Aku belum siap, mentalku
entah lari kemana. Aku belum siap bertemu papa dan mama, belum kuat untuk
berdiri dihadapan mereka. Belum siap menerima kenyataan pahit yang akan kami
terima secara paksa.
Artikel ini, diikutkan dalam " outline Novel Fiksi Blogfam " . Mohon saran dan kritiknya.
With Love,
-Semoga semua mahluk hidup berbahagia-
Numpang lewat ah. Iseng blogwalking, ngider ngintipin blognya peserta fiksi blogfam :D
ReplyDeleteKeren om ceritanya, kalo saya di posisi seperti Robi pasti akan sama bingungnya dg kondisi yg udah terlanjur cinta itu.
ReplyDeleteada yg mau aku tanya nih om
Ceritanya Robi dan Ira lagi dimana yak? masih belum ngerti latarnya
Mereka udah ada hubungan intim belom yah ?